Bengkulu, Redaksibengkulu.com — Nampaknya upaya Gubernur Bengkulu Helmi Hasan dalam menggaungkan Bengkulu adalah Bumi Merah Putih mendapatkan tantangan besar belakangan ini. Pasalnya baru-baru ini salah satu legislator DPD RI yani Destita Khairilisani bersama Bupati Seluma Teddy Rahman kedapatan secara terbuka diruang publik menyerahkan sebuah cinderamata minimatur bunga Raflesia kepada Tim University Belanda saat kunjungan di ruang kerja Bupati Seluma, Kamis (19/6).
Sebagimana diketaui bahwa Gubernur Helmi Hasan sudah berupaya keras mensosialisasikan disetiap kegiatan formal maupun informasi mengenalkan bahwa Bengkulu Merah Putih, dan tidak lagi Raflesia. Karena hal itu bukan tanpa alasan dan memiliki tujuan dari yang dimaksudkan Gubernur Helmi Hasan. Namun sayang upaya Gubernur itu justru bertolak belakang dengan kedua pejabat tersebut.
Sementara penyerahan cinderamata miniatur bunga Rafflesia yang diberikan Legislator Destita Khairilisani bersama Bupati Seluma Teddy Rahman menunjukkan sinyal kuat akan kecintaan kedua pejabat tinggi Bengkulu ini kepada bunga Rafflesia yang memang selama ini telah melekat sebagai simbol-nya Provinsi Bengkulu. Karena Bengkulu banyak tumbuh subur Bunga Rafflesia.
Seperti dikutip dalam media online lokal daerah dkmedia.co.id, disebutkan kalau agenda pertemuan itu, adalah upaya Pemerintah Kabupaten Seluma memfasilitasi pengembangan program intercropping (tumpang sari) sawit di wilayahnya. Program ini merupakan hasil kolaborasi antara PT Arconesia dan universitas pertanian ternama asal Belanda, dengan tujuan menciptakan ekosistem pertanian yang ramah lingkungan dan meningkatkan pendapatan petani.
Bupati Seluma Teddy Rahman, S.E., M.M. menyambut baik program ini, terlebih karena didukung oleh putra daerah Bengkulu, Jusrian Saubala O.Y., CEO PT Arconesia sekaligus alumnus Wageningen University, Belanda.
Program tumpang sari sawit ini akan diawali di Desa Riak Siabun Kecamatan Sukaraja sebagai pilot project. Lahan seluas 10 hektare yang dipilih adalah milik Jumadi, petani moderen yang tengah menjalani masa replanting atau peremajaan lahan sawitnya.
Dengan metode intercropping, petani dapat menanam tanaman pangan seperti semangka dan melon di sela-sela pohon sawit. Selain menambah penghasilan, metode ini juga terbukti efektif mengurangi penyebaran penyakit tanaman sawit seperti ganoderma.
“Dengan sistem ini, satu hektare bisa menghasilkan sampai Rp 100 juta per tiga bulan. Ini luar biasa bagi ekonomi petani. Bibitnya hasil riset, pupuknya juga, dan pemasaran pun sudah disiapkan. Semua terintegrasi,” lanjut Teddy.
Dengan dukungan dari Wageningen University, yang dikenal sebagai kampus pertanian terbaik di dunia, serta kolaborasi lintas sektor, program intercropping sawit di Seluma diharapkan menjadi model pertanian cerdas iklim dan bisa ditiru di berbagai wilayah lain.
“Seluma bisa jadi percontohan nasional sawit berkelanjutan. Kita jaga hutan, kita tingkatkan penghasilan, dan kita siapkan sawit kita untuk pasar global,” tegas Bupati Teddy Rahman.(red)